Wednesday, February 18, 2009
Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh
Mudah diomongkan tapi sangat sulit menerapkannya. Bahkan 'gumunan' telah menjadi budaya yang telah berakar kuat di sebagian masyarakat pedesaan. Kita bisa mengamati pada peristiwa 'Pembagian zakat pasuruan' dan 'dukun cilik Ponari'. Kalau dilihat secara sekilas, kedua peristiwa itu terlihat sebagai suatu fenomena kesenjangan sosial dan kemiskinan masyarakat. Tapi jika dilihat dari sudut pandang filosofi, itu mencerminkan budaya masyarakat (desa) yang 'gumunan'.
Dimulai dari 'getuk tular', masyarakat kemudian mulai 'gumun' atau penasaran dengan fenomena yang terjadi dan kemudian ingin membuktikannya. Yang paling jelek adalah ketika masyarakat merasa 'gumun' pada bencana alam. Makanya, tak heran jika bencana alam justru dijadikan sebagai suatu tontonan, tapa adanya kemauan untuk melakukan tindakan. Tidak hanya pada bencana alam saja, bahkan pada hampir semua bencana, misalnya kecelakaan lalu lintas dan bunuh diri.
Sedangkan budaya 'kagetan' biasanya sering muncul pada kalangan umat Muslim. Ini merupakan dua sisi mata uang, di satu sisi merupakan suatu kelebihan sedang di sisi lain merupakan kelemahan mendasar kebanyakan kaum Muslimin. Budaya 'kagetan' ini tercermin dalam tindakan yang cenderung 'reaksionis'. Makanya, pihak-pihak yang tidak suka dengan Islam dengan mudah dapat membangkitkan reaksi kaum muslimin dengan memunculkan berbagai sindiran, ejekan dan rumor-rumor lainnya.
Namun demikian, tak jarang juga budaya kagetan ini ditemukan pada kaum 'miskin dan terpinggirkan'. Contoh sederhananya bisa kita temukan setiap kali mau diberlakukannya suatu undang-undang, yang terbaru adalah undang-undang pornografi dan undang-undang pengendalian dampak tembakau. Dalam kedua contoh tersebut, masyarakat ramai-ramai kaget dan merasa perlu melakukan 'perlawanan balik'.
Yang terakhir, 'dumeh' sering muncul pada kaum yang OKB (Orang Kaya Baru).....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment