Friday, February 22, 2008

HANYA HAYALAN


Lumpur Lapindo sampai saat ini belum bisa teratasi. Pusat semburan belum juga bisa ditutup. Ganti rugi yang dituntut oleh para korban lumpur lapindo juga belum terkabulkan. Pemerintah (termasuk DPR) kelihatannya serius menangani hal ini, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Pihak Lapindo sendiri serasa berpangku tangan dan mengopinikan bahwa hal itu sebagai salah satu gejala alam (atau mungkin bencana) alam sehingga hal itu bukan tanggung jawab mereka, tetapi tanggung jawab pemerintah. Sayangnya, pemerintah pun terlihat menuruti saja apa kata-kata pihak Lapindo.

Sebenarnya apakah yang terjadi? Lapindo brantas sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pengeboran telah mendapatkan ijin dalam melakukan pengeboran di Sidoarjo. Berbekal ijin tersebut (entah bagaimana cara pengurusan ijinnya) mereka melakukan pengeboran di daerah Porong, Sidoarjo. Semua prosedur telah dijalankan untuk melakukan pengeboran tersebut. Namun, mereka beranggapan bahwa meniadakan cincin pengeboran masih bisa dianggap aman. Itu pun demi menghemat biaya operasional. Ini karena mereka (Lapindo) benar-benar menerapkan prinsip ekonomi “Dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil/keuntungan yang sebesar-besarnya”.

Namun alam berkata lain, struktur tanah di daerah Porong kurang mendukung prosedur pengeboran tanpa cincin pengeboran. Di samping itu, gempa bumi yang mengguncang DIY-Jateng pada bulan Mei yang lalu juga ikut andil. Getaran gempa bisa saja menggeser pipa pengeboran, walau mungkin hanya 5-10 cm saja. Namun jarak itu tentu saja mengakibatkan hilangnya keseimbangan pipa pengeboran. Ketidakseimbangan dan tekanan yang sangat kuat di dalam pipa pengeboran menyebabkan pipa tidak bisa menahan beban yang ada. Tak ayal, pipa pun jebol dan menyemburlah air menorobos lapisan bumi atas.

Awalnya, semburan itu hanya berupa air garam. Namun, akhirnya semburan air panas itu pun mengikis lapisan tanah sehingga semburan air bercampur dengan lumpur. Setiap harinya beribu-ribu kubik lumpur dihasilkan dari semburan itu. Bisa dibayangkan, kalau lumpur terus-meneur keluar maka bisa dipastikan bahwa volume tanah bagian bawah di sekitar semburan itu telah ‘keropos’. Jadi, bisa diperkirakan bahwa saat ini permukaan tanah di daerah Porong sudah amblas sekitar 50 cm – 150 cm. Apakah akibat selanjutnya?

Amblasnya tanah tentu saja akan menekan air di dalam lapisan tanah bawah sehingga air tersebut cenderung untuk keluar, seperti halnya pada larva gunung berapi yang menyempur ketika tekanan larva naik. Ini tentu saja untuk menjaga keseimbangan tekanan air di dalam tanah. Karena tekanan tanah di sekitar pusat semburan telah meningkat (karena ditambah dengan volume lumpur), maka air tanah tersebut menembus lapisan tanah dengan tekanan yang lebih rendah. Tak heran, sekarang telah muncul beberapa semburan baru yang letaknya agak jauh dari pusat semburan lumpur lapindo.

Jika semburan-semburan baru ini tidak segera di atasi, maka semburan air yang baru itu pun akan menjadi semburan lumpur seperti pusat semburan lumpur yang sebelumnya ada. Jika hal ini terjadi terus-menerus dan tidak segera dihentikan, tak ayal lagi, seluruh Sidoarjo bisa menjadi lautan lumpur dalam waktu 15-25 tahun mendatang.

Melihat hal ini, siapakah yang patut disalahkan? Banyak pihak yang harus disalahkan, termasuk tentu saja pihak Lapindo sebagai pelaksana pengeboran. Lapindo adalah pihak yang paling bersalah dan seharusnyalah mereka yang menanggung semua kerugian karena kelalaian mereka. Pemerintah bersalah dalam hal perijinan dan pengawasan prosedur pengeboran.

Namun, tak ada gunanya membahas siapa yang bersalah. Hal yang lebih penting adalah bagaimana memecahkan persoalan semburan lumpur lapindo yang saat ini sudah dalam taraf krisis. BPLS telah mencoba bebera cara, yang intinya adalah untuk menutu semburan. Usaha itu sangat tepat untuk waktu 5 bulan sejak semburan terjadi. Usaha Relief well hingga saat ini belum menuai hasil. Bahkan ada yang mengusulkan untuk menggunakan bom guna menutup semburan tersebut.

Perlu diingat dan diperhatikan, munculnya semburan baru di beberapa tempat mengindikasikan adanya tekanan berlebih di dalam tanah. Dan semburan lumpur lapindo merupakan salah satu bentuk penyeimbangan tekanan berlebih di dalam tanah tersebut. Semburan baru tersebut muncul karena semburan di pusat semburan lumpur sudah tidak mampu lagi mengakomodasi tekanan yang berlebih di dalam tanah, karena semburan sudah mulai tertutup dengan lumpur.

Mari kita berhayal sejenak berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini. Semburan pada mulanya hanyalah semburan air, yang kemudian mengikus tanah sehingga semburan tersebut bercampur lumpur. Lumpur yang terus menyebur mengakibatkan tanah di sekitar semburan mulai ‘keropos’ dan mungkin sudah amblas 50-150 cm. Amblasnya tanah ini menyebakan tekanan air di dalam tanah meningkat tajam sehingga air akan mendorong tanah dengan tekanan yang rendah agar air tersebut mencapai keseimbangan. Akibatnya muncul semburan-semburan baru di beberapa daerah yang agak jauh dari pusat semburan. Semburan baru ini sangat mungkin nantinya bercampur dengan lumpur atau pasir. Adanya kandungan gas yang mudah terbakar dari semburan baru tersebut menunjukkan bahwa air tersebut berasal dari lapisan tanah bawah. Bayangkan kalo pusat semburan di tutup, padahal tekanan air di dalam tanah masih belum stabil. Apa yang akan terjadi? Para ahli geologi tahu dengan pasti apa yang akan terjadi. Namun bagi orang-orang awam, bisa berhayal bahwa penutupan semburan akan memicu timbulnya semburan baru yang lebih banyak. Sidoarjo pun akan terancam menjadi lautan lumpur.

Apa solusinya? Intinya adalah bagaimana menyeimbangkan tekanan air di dalam tanah. Air didalam tanah ibarat kolam-kolam penampungan, jadi sangat memungkinkan ada banyak sekali kolam penampungan air di dalam tanah. Pertama adalah cari kolam penampungan untuk pusat semburan. Setelah itu dilakukan pengeboran di tempat lain pada kolam penampungan itu. Semburan dari pengeboran yang baru dialirkan ke laut. Maka, semburan di daerah porong akan berhenti dengan sendirinya kalu kolam penampungan air di dalam tanah sudah benar-benar kosong.

Memang ini ada risikonya, kekosongan volume kolam tentu saja harus diisi lagi dengan materi lain agar terjadi keseimbangan di dalam tanah. Risikonya adalah amblasnya tanah hingga kedalaman 50 meter di sekitar pusat semburan yang lama. Risiko lainnya adalah masyarakat di sekitar semburan lumpur akan kesulitan untuk mendapatkan sumber mata air. Solusi lainnya adalah dengan melakukan penggalian dari porong ke selat madura yang jarkanya sekitar 13km. Penggalian dengan lebar 50-150 meter dengan kedalaman 50 meter. Tentu saja solusi yang kedua ini memakan banyak biaya, dan Sidoarjo dipastikan akan memiliki teluk yang baru.

Pembagian biaya untuk melaksanakan solusi yang pertama adalah dari Pihak Lapindo. Sedangkan untuk solusi yang kedua bisa ditanggung oleh Lapindo dan Pemerintah. Pemerintah bisa menanggung biaya pembebasan tanah untuk pembuatan ‘teluk’ tersebut sedangkan Lapindo yang menanggung biaya penggalian teluk tersebut, atau sebaliknya.

Sekali lagi, ini hanyalah hayalan dari seorang yang sedang bermimpi tentang keseimbangan.

0 komentar: